
Di antara deretan bek Brasil yang elegan dan flamboyan, Alex Rodrigo Dias da Costa datang dengan paket berbeda: besar, galak, keras, dan punya tendangan kaki kanan yang bisa ngelubangi jaring.
Dia bukan tipe yang bakal viral karena skill atau selebrasi. Tapi kalau lo tanya striker Premier League era 2007–2011, banyak yang ogah banget duel sama dia. Apalagi kalau Chelsea dapet free kick jarak 25 meter. Semua pasti mikir, “Please bukan Alex yang nendang.”
Awal Mula: Dari Brasil ke Belanda Dulu, Bukan Langsung London
Alex lahir 17 Juni 1982 di Niterói, Brasil. Dia mulai karier di klub lokal Santos, bareng generasi yang satu tim sama Robinho dan Diego. Tapi meskipun mereka heboh di depan, Alex-lah yang jagain belakang.
Bakatnya langsung bikin klub-klub Eropa ngelirik. Tahun 2004, dia dibeli Chelsea, tapi karena masalah izin kerja, dia langsung dikirim ke PSV Eindhoven di Belanda.
Dan ternyata? Itu jadi awal terbentuknya monster.
PSV Eindhoven: Disulap Jadi Bek Tengah Elite
Selama tiga musim di Belanda, Alex berkembang jadi bek tangguh dan disiplin. Di bawah pelatih Guus Hiddink:
- Dia jadi starter utama
- Menangkan tiga gelar Eredivisie
- Sering cetak gol dari bola mati
- Jadi tembok buat striker-striker Eredivisie
PSV bahkan sampai semifinal Liga Champions 2004–05, dan Alex salah satu pemain terbaik mereka. Setelah itu, Chelsea gak tahan buat nahan dia lebih lama.
Chelsea: Jadi Tembok di Era Mourinho Sampai Ancelotti
Tahun 2007, Alex resmi gabung Chelsea, pas era Jose Mourinho lagi on fire. Dan dia langsung klik dengan atmosfer Stamford Bridge yang penuh tekanan.
Ciri khas Alex di Chelsea:
- Postur gede, tinggi, kuat (1,88m)
- Jago duel udara
- Disiplin posisi
- Tipe bek yang “kalau bola lewat, orangnya enggak”
- Tendangan bebas keras banget
Momen yang ikonik?
Free kick lawan Liverpool di Anfield (2009): bola ditembak dari jarak 30+ meter, dan nyaris sobek jaring. Komentator bilang itu “seperti rudal balistik.”
Dia mungkin bukan pilihan utama setiap minggu (karena saingan kayak Terry, Carvalho, dan Luiz), tapi:
- Tiap dipasang, dia jarang bikin kesalahan
- Sering tampil di big match
- Punya chemistry bagus di lini belakang
Statistik Bareng Chelsea:
- 135 pertandingan
- 10 gol (mayoritas dari tendangan bebas atau sundulan)
- 1x Premier League (2009–10)
- 2x FA Cup
- 1x Community Shield
Gak terlalu sering disebut sebagai legenda, tapi fans tahu: Alex itu salah satu bek cadangan terbaik yang pernah dimiliki Chelsea.
Gaya Main: Bek Keras Tapi Bersih
Di era sekarang, banyak bek fokus ke ball-playing. Tapi Alex itu:
- Old-school enforcer
- Fokus utama: jaga lini, blok tembakan, duel
- Gak sering keluar dari zona
- Tapi tenang saat pegang bola
- Punya passing yang aman, gak spekulatif
Dan yang bikin dia beda?
Tendangan bebasnya.
Bola kayak ditembak, bukan ditendang. Kiper kadang gak berani lompat karena takut tangan keseleo.
Saingan Internal? Bukan Masalah
Selama di Chelsea, Alex bersaing sama:
- John Terry
- Ricardo Carvalho
- Branislav Ivanović
- David Luiz
Tapi dia gak pernah rewel. Gak pernah protes ke media. Gak minta cabut tiap bulan. Dia cuma nunggu giliran, perform maksimal, dan balik ke bangku cadangan tanpa drama.
Lo jarang banget nemu pemain kayak gitu sekarang.
Pindah ke PSG: Lanjut Jadi Tembok di Prancis
Tahun 2012, Alex gabung ke Paris Saint-Germain, yang lagi baru dibeli pemilik Qatar. Di PSG, dia langsung jadi starter dan mentor buat pemain muda.
Di sana, dia:
- Main bareng Thiago Silva dan Sakho
- Bantu PSG juara Ligue 1 dua kali
- Tetap jago tendangan bebas
- Bawa ketenangan di lini belakang
Fans PSG suka dia karena dia datang kerja, gak neko-neko.
Timnas Brasil: Kurang Dihargai Tapi Tetap Dipanggil
Alex punya caps buat Brasil, tapi gak sebanyak yang seharusnya. Kenapa?
Karena era itu lini belakang Brasil diisi:
- Lucio
- Juan
- Thiago Silva
- Luisão
Tapi dia tetap sempat main di:
- Copa América 2007 (juara)
- Beberapa kualifikasi Piala Dunia
Total caps: 17 penampilan, dan walau gak sering tampil di turnamen besar, dia tetap jadi opsi penting di era Dunga.
Pensiun: Tanpa Ribut, Tanpa Drama
Setelah dua musim di AC Milan (2014–2016), Alex pensiun di usia 34. Bukan karena performa jeblok, tapi karena cedera dan fisik mulai susah diajak kompromi.
Sejak pensiun:
- Gak terlalu aktif di media
- Gak buru-buru jadi pelatih
- Lebih banyak fokus ke keluarga dan hidup tenang di Brasil
Gaya hidupnya? Konsisten dengan cara dia main: kalem, gak ribut, tapi tetap solid.
Kenapa Dia Gak Pernah Dianggap “World-Class”?
Banyak yang bilang Alex “nyaris world-class.” Kenapa?
- Sering jadi pilihan ke-3 atau ke-4
- Gak main di Piala Dunia
- Gak flamboyan atau vokal
- Lebih sering kerja di balik layar
Tapi faktanya:
- Trofi ada
- Konsistensi ada
- Big match performa ada
- Skill khas (free kick keras) juga ada
Lo gak bisa bohongin fakta: Alex adalah bek yang lo pengen punya di tim besar.
Kesimpulan: The Tank yang Gak Pernah Retak
Alex bukan bintang film. Tapi kalau lo lagi main bola dan tim lo diserang habis-habisan, dia adalah orang yang lo mau di belakang.
Dia bukan tipe yang bikin fans heboh, tapi pelatih dan rekan setim percaya penuh sama dia. Dan itu, di sepak bola modern, adalah salah satu bentuk tertinggi dari rasa hormat.
Mau jaga striker Premier League? Bisa.
Mau duel udara lawan Drogba pas latihan? Bisa.
Mau free kick dari 35 meter? Bisa banget.
Alex adalah bukti bahwa pemain cadangan pun bisa punya pengaruh besar, kalau dia tahu kapan harus naik, dan kapan harus diam.